Nama
: Dwi Julianti
Kelas
: 2EB08
NPM :
22211244
JURNAL PERLINDUNGAN KONSUMEN
ASPEK HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN PANGAN
DALAM MEMPEROLEH GANTI RUGI
ROY MAMPE APPETUA SIJABAT
NPM. 046 000 016
Bagian Hukum Keperdataan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SIMALUNGUN
PEMATANGSIANTAR
2012
BAB IV
PERLINDUNGAN
KONSUMEN PANGAN
DALAM
MEMPEROLEH GANTI RUGI
A.
Perlindungan Konsumen Pangan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
1. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kualiikasi gugatan ganti kerugian
yang didasarkan pada wanprestasi, menurut Pasal 1243 KUHPerdata mensyaratkan
adanya hubungan langsung (privaty of contract) antara konsumen dan pelaku
usaha. Misalnya, terdapat perjanjian antara produsen dan konsumen, bahwa
produsen akan memproduksi pangan yang aman, akan tetapi kemudian produsen tidak
memenuhi prestasinya. Namun, di dalam praktek perdagangan sehari-hari, jarang
sekali konsumen mengadakan hubungan langsung dengan produsennya. Dengan
demikian, jika tidak ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan produsen,
maka tidak ada tanggung jawab langsung produsen kepada konsumen.
Selain dengan menggunakan
kualifikasi gugatan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi, juga dapat
digunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365
KUHPerdata.Selanjutnya, di dalam Pasal 1367 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang
tidak saja bertangung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya. Didasarkan bunyi
Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata
tersebut, maka seorang pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, yang dalam
hal ini adalah tenaga kerjanya dan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya,
yaitu berupa produk pangan yang ada di bawah pengawasan pelaku usaha.
2. Ditinjau dari UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
a. Jaminan atas kesehatan dan keselamatan produk pangan
Jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan produk pangan ini
dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen,
b. Jaminan atas perolehan informasi tentang produk pangan.
Dengan pemberian label ini, maka
masyarakat yang membeli dan/atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang
benar dan jelas tentang setiap produk yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan,
mutu kandungan gizi maupun keterangan lain yang diperlukan sehingga konsumen
dapat memutuskan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut. Menurut
penjelasan Pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketentuan ini tidak
berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus dihadapan pembeli.
Dalam hubungannya dengan
ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ini, pemerintah
mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang
pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Dalam kaitannya dengan perolehan informasi tentang pangan yang
benar dan jelas bagi konsumen melalui iklan, label maupun brosur yang dibuat
oleh pelaku usaha, maka dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, diberikan ketentuan dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 17.
c. Jaminan atas perolehan ganti kerugian secara efektif dan
efisien.
Berdasarkan ketentuan dalam
KUHPerdata, apabila konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya akan menuntut
pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum, salah satu hal yang harus
dibuktikan adalah adanya kesalahan pelaku usaha. Kata “karena salahnya” di dalam
Pasal 1365 KUHPerdata, menunjukkam bahwa pelaku usaha baru bertanggung jawab,apabila
ia terbukti bersalah dan kesalahan itu harus dibuktikan konsumen lebih dahulu.
Terdapat pasal yang mengaturnya diantaranya :
·
Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
·
Pasal 22 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan
Pasal 21merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
·
Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi
tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (4), dapat digugat melalui badan
penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa tuntutan ganti kerugian ini tidak
hanya dapat ditempuh dengan pengadilan. Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
·
Pasal 49 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Konsumen di
Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
·
Pasal 43 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang
Pangan dan di dalam Pasal 46 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa apabila kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian
materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit, maka pemerintah berwenang
mengajukan gugatan ganti kerugian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menganut prinsip strict liability.
Apabila pemerintah dimungkinkan
menggugat pelaku usaha untuk mewakili konsumen secara umum, tanpa harus
membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha, maka gugatan ini akan sangat membantu
konsumen. Cara seperti ini tentu sangat efektif oleh karena pemerintah cukup
mengajukan gugatan satu kali untuk kepentingan seluruh konsumen yang dirugikan
dan pemerintah tidak perlu membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha.
B.
Tuntutan Ganti Kerugian Oleh Konsumen Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Di dalam Pasal 41 dan 42 Bab VI
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan telah diatur tentang tanggung jawab industri
pangan. Produsen dinyatakan langsung bertanggung jawab tanpa disebut karena
salahnya, yang berarti menganut prinsip praduga bersalah. Dengan demikian,
pihak yang menuntut ganti kerugian tidak perlu lagi membuktikan kesalahan dari pihak
yang dinyatakan bertanggung jawab oleh Pasal41 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (2)
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Berdasarkan Pasal 41 ayat (4) UU
No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, konsumen yang dirugikan tidak perlu
membuktikan kesalahan produsen, tetapi justru produsen diberi kesempatan untuk
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Ketentuan Pasal 41 ayat (4) ini
mendukung dan menguatkan bahwa UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ini menganut
prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Selanjutnya tanggung jawab pelaku
usaha yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
terdapat dalam Pasal 7 tentang kewajiban pelaku usaha, yang menyebutkan bahwa :
(1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
(2) Memberikan informasi yan benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan
dan pemeliharaan;
(3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif.
(4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau jasa diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
(5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan
mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
(6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pergantian atas
kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
(7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pergantian apabila
barang dan/atau jasa yang
Apabila pelaku usaha sudah
dianggap bersalah karena perbuatannya yang membahayakan atau merugikan
konsumen, maka konsumen atau ahli warisnya yang menjadi korban tidak perlu lagi
membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha. Oleh karena, menurut Pasal 28 UU No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, beban pembuktian dialihkan pada
pelaku usaha untuk membuktikan dirinya tidak melakukan kesalahan yang
menimbulkan kerugian pada konsumen.
DAFTAR PUSTAKA :
Djodjodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.L, Jakarta, 1994.
Poerwadarminta, W.J.S. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I., Jakarta, 1994.
Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1995.
Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T. Grasindo, Jakarta, 2000.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, P.T. Intermassa, 1992.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1998.
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Susilo, Zumroan R, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, 1996.
Waluya, Bernadette M. Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Parahyangan, Bandung, 1997.
Djodjodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.L, Jakarta, 1994.
Poerwadarminta, W.J.S. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I., Jakarta, 1994.
Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1995.
Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T. Grasindo, Jakarta, 2000.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, P.T. Intermassa, 1992.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1998.
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Susilo, Zumroan R, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, 1996.
Waluya, Bernadette M. Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Parahyangan, Bandung, 1997.
Bernadette M Waluyo, Hukum Perlindungan Konsumen, Uviversitas
Parahyangan, Bandung, 1997, hal. 9
Zumroan R. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara Jakarta,
1996, hal. 7
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T.
Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 36-17
Bernadette. M. Waluyo,
Op Cit., hal. 15
0 komentar:
Posting Komentar