Kamis, 02 Mei 2013

posting ke 3 jurnal ke 1


Nama   : Dwi Julianti
Kelas   : 2EB08
NPM   : 22211244
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK KOSMETIK
IMPORT TANPA IZIN EDAR DARI BADAN POM DITINJAU DARI HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

ANASTASIA MARISA R HUTABARAT
0706201481

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN IV
HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI
DEPOK
JULI 2011

2.6.3 Tahap Purna-Transaksi Konsumen

Tahap ini disebut juga tahap purna-jual. Pada tahap ini konsumen mulai memanfaatkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dari transaksi dengan pelaku usaha bersangkutan.
Kepuasan konsumen atau kekecewaannya berkenaan dengan transaksi yang diselenggarakan dapat menjadi kenyataan. Kepuasaan konsumen akan menyebabkan konsumen untuk selanjutnya setia dan tidak beralih dari merek barang atau jasa tertentu, sehingga pelaku usaha bersangkutan akan dapat mempertahankan langganannya.
Sebaliknya, keadaan menjadi berbeda apabila konsumen merasa tidak puas terhadap kegunaan dan/atau pemakaian dari suatu barang atau penyelenggaraan jasa yang diperoleh dari pelaku usaha.
Berkaitan dengan hal itu, UUPK memberikan pengaturan atas tindakan yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dalam tahap purna transaksi, antara lain:

1. Pasal 7
huruf f:

Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

huruf g:

Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2. Pasal 19 ayat (1)

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.



3.   Pasal 25 ayat (1)

Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

4.   Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan.
Tahap-tahap transaksi konsumen tersebut diatas diperlukan agar dapat dengan mudah memahami akar permasalahan dan mencarikan jalan penyelesaian dalam penyelesaian sengketa transaksi konsumen.

2.7 Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen

UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha.UUPK menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.
Substansi dari Pasal 8 tertuju dua hal, yaitu larangan memproduksi barang dan atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan atau jasa yangdimaksud.

Pasal 9 UUPK mengatur mengenai larangan melakukan penawaran,
promosi, periklanan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar,tampak sedikit rancu sehingga perlu dilakukan revisi bahkan sebagian di antara ayat-ayatnya terdapat pengaturan berlebihan.Pasal ini juga terkait dengan representasi dimana pelaku usaha wajib memberikan presentasi yang benar atas barang dan atau jasa yang diperdagangkannya.
Dalam Pasal 10 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang pelaku usaha yaitu pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. Harga atau tarif suatu barang dan atau jasa.
b. Kegunaan suatu barang dan atau jasa.
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang  dan atau jasa.
d. Tawaran potongan harga atau hadiah yang ditawarkan.
e. Bahaya penggunaan barang dan atau jasa.

        Pasal 10 juga menyangkut larangan yang tertuju pada “perilaku” pelaku usaha yang tujuannya mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjual belikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum.
Dalam Pasal 11 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang,dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:

a. Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
b. Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain.
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu dan atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual jasa yang lain.
f. Menaikkan harga atau tariff barang dan atau jasa sebelum melakukan obral.

Dalam Pasal 12 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan harga tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,dipromosikan, dan diiklankan.
Pasal 13 menyangkut larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan, di samping larangan yang tertuju pada peristiwa pelaku usaha yang mengelabui atau menyesatkan konsumen.
Dalam Pasal 14 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,dilarang untuk :

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c. Memberikan hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.
d. Menggantikan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 juga sama dengan maksud larangan yang disebutkan pada pasal-pasal sebelumnya. Yang membedakannya hanya menyangkut cara yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Khusus dalam pasal ini adalah cara paksaan yang menempatkan posisi konsumen menjadi lemah.
Dalam Pasal 16 intinya larangan tertuju pada “perilaku” pelaku usaha yang tidak menepati pesanan dan atau tidak menepati kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan, termasuk tidak menepati janji atas suatu pelayanan
dan atau prestasi.

Pasal 17 merupakan pasal yang ditujukan pada perilaku pelaku usaha periklanan yang mengelabui konsumen melalui iklan yang diproduksinya.

2.8 Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

2.8.1 Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan

Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara damai yaitu
penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan dan tanpa ada yang merasa dirugikan dengan adanya kesepakatan tersebut. Artinya dalam hal ini para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha dapat menyelesaikan sengketa yang ada di antara mereka dengan hanya melibatkan konsumen dan pelaku usaha bersangkutan atau dengan bantuan pihak ketiga.
Untuk mengatasi liku-liku proses pengadilan yang lama dan formal,
UUPK memberikan jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu di BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK memberikan penjelasan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Dasar hukum pembentukkan BPSK adalah Pasal 49 ayat (1) UUPK jo.Pasal 2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang menegaskan bahwa disetiap kota atau kabupaten harus terdapat BPSK yang bertugas untuk membantu menyelesaikan sengketa konsumen.
pelaksanaan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
Tugas dan wewenang BPSK secara menyeluruh diatur dalam Pasal 52 UUPK jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Mengenai sanksi administratif yang dapat dikenakan oleh BPSK diatur dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UUPK yang menyatakan bahwa BPSK berhak menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 UUPK berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

2.8.2 Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan

Dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) UUPK, dinyatakan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang  bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) UUPK, dinyatakan bahwa Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen (class action), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (legal Standing) atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. Gugatan kelompok (class action) diakui oleh UUPK. Lebih lanjut dikemukakan bahwa gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum.
Class action merupakan gugatan perdata biasa yang diajukan oleh satu orang atau lebih, atas nama sejumlah orang yang mempunyai tuntutan yang sama terhadap penggugat.
Mas Ahmad Santosa merujuk pada US Federal of Civil Procedure,
menyatakan bahwa yang menjadi persyaratan gugatan class action, antara lain:

1 . Numerosity, yaitu jumlah orang yang mengajukan harus sedemikian
banyaknya;

2. Commonality, yaitu kesamaan fakta antara pihak yang mewakili dan yang
diwakili;

3. Typicality, yaitu tuntutan penggugat maupun pembelaan tergugat dari
seluruh anggota yang diwakili (class member) harus sejenis; dan

4. Adequacy of Representation (kelayakan perwakilan), yaitu kewajiban
perwakilan kelas untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu
melindungi kepentingan mereka yang diwakili.

Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Sumber :

Az. Nasution (c), op.cit., hlm. 46, mengutip dari Mr. R.B.M. Keurentjes, Agressieve
Handelspraktijken, Kluwer-Deventer 1986, hlm. 2.
Az. Nasution (b), op.cit., hlm. 52.
Ramadhan Rizky Perdana Hamzah, “Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa
Ketenagalistrikan: Studi Kasus Penerapan Tarif Dasar Listrik (TDL) oleh PT. PLN (Persero),’’
(Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm. 24, mengutip dari Az.
Nasution (b), op.cit., hlm. 38.
Ibid., hlm. 24.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 63.
Ibid., hlm. 89.
Susanti Adi Nugroho, op.cit., hlm. 100, mengutip dari penjelasan Pasal  UUPK.
Indonesia (a), op.cit., Pasal 45 ayat (4).Yusuf Shofie, op.cit., hlm. 80.
Ibid., hlm. 82.
Ibid., hlm. 81.
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, (Jakarta : ELSAM, 2005), hlm. 8.
Ibid.
Ibid., hlm. 9.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 75.

Tangggal : 03-05-2013

0 komentar:

Posting Komentar