Nama : Dwi Julianti
Kelas : 2EB08
NPM :
22211244
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK KOSMETIK
IMPORT TANPA IZIN EDAR DARI BADAN POM DITINJAU DARI HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
ANASTASIA MARISA R HUTABARAT
0706201481
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN IV
HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI
DEPOK
JULI 2011
2.6.3 Tahap Purna-Transaksi Konsumen
Tahap ini disebut juga tahap purna-jual. Pada tahap ini konsumen
mulai memanfaatkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dari transaksi dengan
pelaku usaha bersangkutan.
Kepuasan konsumen atau kekecewaannya berkenaan dengan transaksi yang
diselenggarakan dapat menjadi kenyataan. Kepuasaan konsumen akan menyebabkan
konsumen untuk selanjutnya setia dan tidak beralih dari merek barang atau jasa
tertentu, sehingga pelaku usaha bersangkutan akan dapat mempertahankan
langganannya.
Sebaliknya, keadaan menjadi berbeda apabila konsumen merasa tidak
puas terhadap kegunaan dan/atau pemakaian dari suatu barang atau
penyelenggaraan jasa yang diperoleh dari pelaku usaha.
Berkaitan dengan hal itu, UUPK memberikan pengaturan atas tindakan
yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dalam tahap purna transaksi, antara
lain:
1. Pasal 7
huruf f:
Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
huruf g:
Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
2. Pasal 19 ayat (1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
3. Pasal 25 ayat (1)
Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
4. Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan
dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan.
Tahap-tahap transaksi konsumen tersebut diatas diperlukan agar
dapat dengan mudah memahami akar permasalahan dan mencarikan jalan penyelesaian
dalam penyelesaian sengketa transaksi konsumen.
2.7 Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen
UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah
untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai
hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan atau jasa harus
dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha.UUPK menentukan berbagai
larangan bagi pelaku usaha yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari Pasal 8
sampai dengan Pasal 17.
Substansi dari Pasal 8 tertuju dua hal, yaitu larangan memproduksi
barang dan atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan atau jasa yangdimaksud.
Pasal 9 UUPK mengatur mengenai larangan melakukan penawaran,
promosi, periklanan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar,tampak
sedikit rancu sehingga perlu dilakukan revisi bahkan sebagian di antara
ayat-ayatnya terdapat pengaturan berlebihan.Pasal ini juga terkait dengan representasi
dimana pelaku usaha wajib memberikan presentasi yang benar atas barang dan atau
jasa yang diperdagangkannya.
Dalam Pasal 10 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
pelaku usaha yaitu pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan atau jasa.
b. Kegunaan suatu barang dan atau jasa.
c.
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa.
d. Tawaran potongan harga atau hadiah yang ditawarkan.
e. Bahaya penggunaan barang dan atau jasa.
Pasal 10 juga menyangkut larangan yang tertuju pada “perilaku”
pelaku usaha yang tujuannya mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan
iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjual belikan dalam masyarakat
dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum.
Dalam Pasal 11 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu pelaku usaha dalam hal penjualan yang
dilakukan melalui cara obral atau lelang,dilarang mengelabui/menyesatkan
konsumen dengan:
a.
Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar
mutu tertentu.
b.
Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi.
c.
Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud
untuk menjual barang lain.
d.
Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan atau jumlah yang cukup
dengan maksud menjual barang yang lain.
e.
Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu dan atau jumlah yang cukup
dengan maksud menjual jasa yang lain.
f.
Menaikkan harga atau tariff barang dan atau jasa sebelum melakukan obral.
Dalam Pasal 12 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan
harga tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut
tidak bermaksud melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,dipromosikan,
dan diiklankan.
Pasal 13 menyangkut larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan
yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan, di samping larangan
yang tertuju pada peristiwa pelaku usaha yang mengelabui atau menyesatkan
konsumen.
Dalam Pasal 14 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu dalam menawarkan barang dan atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian,dilarang untuk :
a.
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c. Memberikan hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.
d.
Menggantikan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 juga sama dengan maksud larangan yang disebutkan pada
pasal-pasal sebelumnya. Yang membedakannya hanya menyangkut cara yang dilakukan
oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Khusus dalam pasal ini adalah cara paksaan
yang menempatkan posisi konsumen menjadi lemah.
Dalam Pasal 16 intinya larangan tertuju pada “perilaku” pelaku
usaha yang tidak menepati pesanan dan atau tidak menepati kesepakatan waktu
penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan, termasuk tidak menepati janji atas
suatu pelayanan
dan atau prestasi.
Pasal 17 merupakan pasal yang ditujukan pada perilaku pelaku usaha
periklanan yang mengelabui konsumen melalui iklan yang diproduksinya.
2.8 Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
2.8.1 Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara damai yaitu
penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan
atau tanpa bantuan dari pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan
dan tanpa ada yang merasa dirugikan dengan adanya kesepakatan tersebut. Artinya
dalam hal ini para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha dapat menyelesaikan
sengketa yang ada di antara mereka dengan hanya melibatkan konsumen dan pelaku
usaha bersangkutan atau dengan bantuan pihak ketiga.
Untuk mengatasi liku-liku proses pengadilan yang lama dan formal,
UUPK memberikan jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian
sengketa diluar pengadilan, yaitu di BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK memberikan
penjelasan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Dasar hukum pembentukkan BPSK adalah Pasal 49 ayat (1) UUPK jo.Pasal
2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang menegaskan bahwa disetiap kota
atau kabupaten harus terdapat BPSK yang bertugas untuk membantu menyelesaikan
sengketa konsumen.
pelaksanaan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
Tugas dan wewenang BPSK secara menyeluruh diatur dalam Pasal 52 UUPK
jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Mengenai sanksi administratif yang dapat dikenakan oleh BPSK
diatur dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UUPK yang menyatakan bahwa BPSK berhak
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 UUPK berupa penetapan
ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
2.8.2 Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan
Dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) UUPK, dinyatakan bahwa gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama;
c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya.
d.
Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
Pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) UUPK, dinyatakan bahwa Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen (class action),
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (legal Standing) atau
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan
kepada peradilan umum. Gugatan kelompok (class action) diakui oleh UUPK.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang
benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum.
Class action merupakan
gugatan perdata biasa yang diajukan oleh satu orang atau lebih, atas nama
sejumlah orang yang mempunyai tuntutan yang sama terhadap penggugat.
Mas Ahmad Santosa merujuk pada US Federal of Civil Procedure,
menyatakan bahwa yang menjadi persyaratan gugatan class action,
antara lain:
1 . Numerosity, yaitu jumlah orang yang mengajukan harus
sedemikian
banyaknya;
2. Commonality, yaitu kesamaan fakta antara pihak yang
mewakili dan yang
diwakili;
3. Typicality, yaitu tuntutan penggugat maupun pembelaan
tergugat dari
seluruh anggota yang diwakili (class member) harus sejenis;
dan
4. Adequacy of Representation (kelayakan perwakilan), yaitu
kewajiban
perwakilan kelas untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu
melindungi kepentingan mereka yang diwakili.
Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata
cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan atau
perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang
telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Sumber :
Az. Nasution (c), op.cit., hlm. 46, mengutip dari Mr.
R.B.M. Keurentjes, Agressieve
Handelspraktijken, Kluwer-Deventer 1986, hlm. 2.
Az. Nasution (b), op.cit., hlm. 52.
Ramadhan Rizky Perdana Hamzah, “Perlindungan Konsumen Pengguna
Jasa
Ketenagalistrikan: Studi Kasus Penerapan Tarif Dasar Listrik (TDL)
oleh PT. PLN (Persero),’’
(Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm.
24, mengutip dari Az.
Nasution (b), op.cit., hlm. 38.
Ibid., hlm. 24.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 63.
Ibid., hlm. 89.
Susanti Adi Nugroho, op.cit., hlm. 100, mengutip dari
penjelasan Pasal UUPK.
Indonesia (a), op.cit., Pasal 45 ayat (4).Yusuf Shofie, op.cit.,
hlm. 80.
Ibid., hlm. 82.
Ibid., hlm. 81.
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, (Jakarta :
ELSAM, 2005), hlm. 8.
Ibid.
Ibid., hlm. 9.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 75.
Tangggal :
03-05-2013
0 komentar:
Posting Komentar