Kamis, 02 Mei 2013

SERTIFIKAT


SERTIFIKAT


posting ke 9 jurnal ke 2

Nama   : Dwi Julianti
Kelas   : 2EB08
NPM   : 22211244
 JURNAL PERLINDUNGAN KONSUMEN
ASPEK HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN PANGAN
DALAM MEMPEROLEH GANTI RUGI

ROY MAMPE APPETUA SIJABAT
NPM. 046 000 016
Bagian Hukum Keperdataan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SIMALUNGUN
PEMATANGSIANTAR
2012
 
BAB IV
PERLINDUNGAN KONSUMEN PANGAN
DALAM MEMPEROLEH GANTI RUGI

A. Perlindungan Konsumen Pangan Menurut Peraturan Perundang-Undangan 

1. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 

Kualiikasi gugatan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi, menurut Pasal 1243 KUHPerdata mensyaratkan adanya hubungan langsung (privaty of contract) antara konsumen dan pelaku usaha. Misalnya, terdapat perjanjian antara produsen dan konsumen, bahwa produsen akan memproduksi pangan yang aman, akan tetapi kemudian produsen tidak memenuhi prestasinya. Namun, di dalam praktek perdagangan sehari-hari, jarang sekali konsumen mengadakan hubungan langsung dengan produsennya. Dengan demikian, jika tidak ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan produsen, maka tidak ada tanggung jawab langsung produsen kepada konsumen.
Selain dengan menggunakan kualifikasi gugatan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi, juga dapat digunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata.Selanjutnya, di dalam Pasal 1367 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang tidak saja bertangung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Didasarkan bunyi
Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata tersebut, maka seorang pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, yang dalam hal ini adalah tenaga kerjanya dan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya, yaitu berupa produk pangan yang ada di bawah pengawasan pelaku usaha. 

2. Ditinjau dari UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

a. Jaminan atas kesehatan dan keselamatan produk pangan
Jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan produk pangan ini dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, 

b. Jaminan atas perolehan informasi tentang produk pangan. 

Dengan pemberian label ini, maka masyarakat yang membeli dan/atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan, mutu kandungan gizi maupun keterangan lain yang diperlukan sehingga konsumen dapat memutuskan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut. Menurut penjelasan Pasal 30 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketentuan ini tidak berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus dihadapan pembeli.
Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ini, pemerintah mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Dalam kaitannya dengan perolehan informasi tentang pangan yang benar dan jelas bagi konsumen melalui iklan, label maupun brosur yang dibuat oleh pelaku usaha, maka dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diberikan ketentuan dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 17. 

c. Jaminan atas perolehan ganti kerugian secara efektif dan efisien. 

Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, apabila konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya akan menuntut pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum, salah satu hal yang harus dibuktikan adalah adanya kesalahan pelaku usaha. Kata “karena salahnya” di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, menunjukkam bahwa pelaku usaha baru bertanggung jawab,apabila ia terbukti bersalah dan kesalahan itu harus dibuktikan konsumen lebih dahulu.
Terdapat pasal yang mengaturnya diantaranya :
·        Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

·        Pasal 22 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

·        Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa tuntutan ganti kerugian ini tidak hanya dapat ditempuh dengan pengadilan. Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
·        Pasal 49 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.

·        Pasal 43 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan di dalam Pasal 46 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa apabila kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit, maka pemerintah berwenang mengajukan gugatan ganti kerugian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menganut prinsip strict liability.
Apabila pemerintah dimungkinkan menggugat pelaku usaha untuk mewakili konsumen secara umum, tanpa harus membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha, maka gugatan ini akan sangat membantu konsumen. Cara seperti ini tentu sangat efektif oleh karena pemerintah cukup mengajukan gugatan satu kali untuk kepentingan seluruh konsumen yang dirugikan dan pemerintah tidak perlu membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha. 

B. Tuntutan Ganti Kerugian Oleh Konsumen Menurut Peraturan Perundang-Undangan 

Di dalam Pasal 41 dan 42 Bab VI UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan telah diatur tentang tanggung jawab industri pangan. Produsen dinyatakan langsung bertanggung jawab tanpa disebut karena salahnya, yang berarti menganut prinsip praduga bersalah. Dengan demikian, pihak yang menuntut ganti kerugian tidak perlu lagi membuktikan kesalahan dari pihak yang dinyatakan bertanggung jawab oleh Pasal41 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, konsumen yang dirugikan tidak perlu membuktikan kesalahan produsen, tetapi justru produsen diberi kesempatan untuk dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Ketentuan Pasal 41 ayat (4) ini mendukung dan menguatkan bahwa UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Selanjutnya tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat dalam Pasal 7 tentang kewajiban pelaku usaha, yang menyebutkan bahwa :
(1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
(2) Memberikan informasi yan benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
(3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
(4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau jasa diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
(5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
(6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pergantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
(7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pergantian apabila barang dan/atau jasa yang
Apabila pelaku usaha sudah dianggap bersalah karena perbuatannya yang membahayakan atau merugikan konsumen, maka konsumen atau ahli warisnya yang menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha. Oleh karena, menurut Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, beban pembuktian dialihkan pada pelaku usaha untuk membuktikan dirinya tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada konsumen. 

DAFTAR PUSTAKA :

Djodjodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
 Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.L, Jakarta, 1994.
Poerwadarminta, W.J.S. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I., Jakarta, 1994.
Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1995.
Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T. Grasindo, Jakarta, 2000.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, P.T. Intermassa, 1992.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1998.
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Susilo, Zumroan R, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, 1996.
Waluya, Bernadette M. Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Parahyangan, Bandung, 1997.
Bernadette M Waluyo, Hukum Perlindungan Konsumen, Uviversitas Parahyangan, Bandung, 1997, hal. 9
Zumroan R. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara Jakarta, 1996, hal. 7
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T. Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 36-17
 Bernadette. M. Waluyo, Op Cit., hal. 15 
Tanggal : 03-05-2013

posting ke 8 jurnal ke 2



Nama   : Dwi Julianti
Kelas   : 2EB08
NPM   : 22211244

 JURNAL PERLINDUNGAN KONSUMEN
ASPEK HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN PANGAN
DALAM MEMPEROLEH GANTI RUGI

ROY MAMPE APPETUA SIJABAT
NPM. 046 000 016

Bagian Hukum Keperdataan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SIMALUNGUN
PEMATANGSIANTAR
2012



BAB III
KONDISI YANG MERUGIKAN KONSUMEN PANGAN

A. Gambaran Secara Umum 

Penelitian lapangan tentang permasalahan konsumen dalam pelaksanaan hak-haknya yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bekerjasama dengan Departeman Perdagangan Republik Indonesia pada tahun 1992 yang menyimpulkan bahwa : "Tidak seorangpun diantara responden yang dirugikan, baik responden di pedesaan maupun responden di perkotaan, pernah menyampaikan masalah kerugian yang dialami konsumen kepada pengadilan maupun kepada lembaga perlindungan konsumen. Bagi konsumen di pedesaan, sikap ini dipengaruhi oleh sikap masyarakat pedesaan yang lebih suka menghindari konflik, yang menurut mereka akan mendatangkan kesulitan yang besar".

B. Kondisi Kesehatan Dan Keselamatan Produk Pangan 

Mengenai kondisi keamanan pangan ini, juga diungkapkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut YLKI, selama ini pengaduan dari konsumen tentang makanan dan minuman yang tidak layak dikonsumsi, cukup banyak. Pengaduan dari konsumen ke YLKI tentang makanan dan minuman yang telah berjamur, bau obat, bau tengik, sudah kadaluarsa sampai adanya lalat dan cicak mati dalam kemasan.


C. Kondisi Kelemahan Secara Ekonomis 

Bagi konsumen yang berpenghasilan menengah kebawah, pendapatan perkapita hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan pangan yang sangat sederhana, bahkan cenderung mengabaikan factor keamanan dan gizi pangan sehingga kenyataannya, keputusan konsumen terhadap permintaan suatu barang ditentukan oleh ekonomi atau tingkat pendapatannya. Dengan perkataan lain, terdapat hubungan antara tingkat pendapatan seseorang dengan permintaan atas kualitas suatu produk. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula permintaanya atas suatu produk yang berkualitas, demikian pula sebaliknya.
Karena itu dalam upaya untuk meningkatkan perlindungan terhadap konsumen, pemerintah haas berusaha untuk melindungi konsumen, baik yang menyangkut mutu produksi maupun segi-segi hukumnya. 
 
D. Kondisi Kesulitan Dalam Mengakses Informasi Produk Pangan

Dalam UU No. 7 Tahun 1996, disebutkan secara jelas mengenai iklan pangan. Pasal 33 ayat (1) dari undang-undang ini menyatakan bahwa setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Untuk itu pemeintah mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Oleh karena itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan bahwa dalam membeli produk pangan harus teliti dan hati-hati. Membaca label kemasan merupakan langkah awal dalam membeli produk pangan. Label merupakan sumber informasi pertama  bagi konsumen. Konsumen harus memperhatikan kondisi isik, bentuk kemasan makanan dan minuman yang akan dibeli. Bila bentuknya rusak dan penyok, sebaiknya tidak dibeli. Misalnya, kaleng yang penyok biasanya memiliki lipatan yang bisa menimbulkan lubang kecil, yang dapat menyebabkan makanan mudah terkontaminasi. 
Khusus untuk jamu digunakan kode TR, dengan kata "jamu" dalam lingkaran. Produk yang digolongkan dalam TR ini belum dilakuan uji klinis untuk memastikan keamanannya dan keefektifannya, seperti yang dipersyaratkan pada obat-obatan. Pengiklanannya pun memiliki peraturan yang berbeda dengan obat, diantaranya tidak boleh menjanjikan penyembuhan. Namun, karena kurangnya pemahaman konsumen, maka hal ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha. 

E. Kondisi Kurangnya Upaya Yuridis Yang Efektef Dan Efisien Untuk Memperoleh Ganti Kerugian 

Sebelum lahirnya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka apabila konsumen pangan menjadi korban atas suatu produk yang rusak sehingga tidak aman untuk dikonsumsi, maka dasar tuntutan memperoleh ganti kerugian adalah KUHPerdata. Gugatan yang diajukan dapat didasarkan pada wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Cara lain yang dapat dilakukan oleh konsumen atau ahli warisnya (apabila korban sampai meninggal dunia) untuk menggugat pelaku usaha, selain didasarkan pada wanprestasi, juga dapat didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Untuk menggugat pelaku usaha berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tidak disyaratkan adanya hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen. Namun konsumen harus memenuhi empat hal yaitu :

a. Perbuatan melawan hukum, menjual produk yang tidak aman untuk dikonsumsi adalah perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
b. Pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa dengan mengeluarkan produk yang tidak aman adalah salah, karena tindakannya tersebut menyalahi hukum yang berlaku.
c. Sebagai akibat dari mengkonsumsi produk yang tidak aman tersebut, konsumen telah menderita kerugian baik terhadap badan, jiwa maupun harta benda.
d. Adanya ganti kerugian yang dibebankan pada pelaku usaha yang ditunjukan dengan adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku usaha dengan kerugian yang dialami oleh konsumen.

F. Kondisi Kesadaran Hukum Dan Peradilan Di Indonesia 

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam rangka menyusun naskah akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang memberikan beberapa hasil, antara lain :
a. "Konsumen tidak seorangpun diantara responden yang dirugikan, baik responden di pedesaan maupun responden di perkotaan, pernah mengadukan masalah tersebut kepada pengadilan maupun lembaga perlindungan.
b. Pada responden di pedesaan, sikap tidak melakukan tindakan hukum pada saat mengalami kerugian akibat kualitas atau kuantitas barang yang tidak benar ini, kecuali karena lokasinya jauh dari jangkauan kedua lembaga tersebut, juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat pedesaan yang lebih suka menghindari konflik, yang menurut mereka akan mendatangkan kesulitan yang lebih besar.
c. Taraf kesadaran hukum para konsumen Indonesia akan hak mereka masih sangat rendah.

 DAFTAR PUSTAKA :

Djodjodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
 Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.L, Jakarta, 1994.
Poerwadarminta, W.J.S. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I., Jakarta, 1994.
Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1995.
Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T. Grasindo, Jakarta, 2000.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, P.T. Intermassa, 1992.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1998.
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Susilo, Zumroan R, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, 1996.
Waluya, Bernadette M. Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Parahyangan, Bandung, 1997.
Bernadette M Waluyo, Hukum Perlindungan Konsumen, Uviversitas Parahyangan, Bandung, 1997, hal. 9
Zumroan R. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara Jakarta, 1996, hal. 7
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, P.T. Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 36-17
 Bernadette. M. Waluyo, Op Cit., hal. 15
Az. Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman R.I., Jakarta, 1994, hal. 70
 Az. Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Op-Cit, hal. 75. 

Tanggal : 03-05-2013