Kamis, 02 Mei 2013

Posting ke 4 jurnal ke 1


Nama   : Dwi Julianti
Kelas   : 2EB08
NPM   : 22211244


PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK KOSMETIK
IMPORT TANPA IZIN EDAR DARI BADAN POM DITINJAU DARI HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

ANASTASIA MARISA R HUTABARAT
0706201481

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN IV
HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI
DEPOK
JULI 2011


BAB 4
ANALISIS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
ATAS PRODUK KOSMETIK IMPOR TANPA IZIN EDAR DARI BADAN
POM
4.1 Analisis peredaran kosmetik impor
Peredaran kosmetik impor ilegal di Indonesia semakin marak setelah adanya internet. Para pelaku usaha dapat melakukan transaksi elektronik tanpa perlu adanya izin usaha. Penjualan barang pun tidak perlu bertatap langsung dengan pembeli, tetapi cukup memasarkan produknya secara online dan mengirimkan pesanan konsumen. Kosmetik impor yang masuk ke Indonesia dikirim langsung dari produsen negara asal produk tersebut dibuat. Pelaku usaha melakukan pemesanan lewat distributor dari negara tersebut lalu dikirim ke Indonesia.
Pengiriman itu tidaklah melalui jalur legal. Peruntukan barang-barang tersebut ditujukan bukanlah untuk dijual kembali, melainkan pemakaian secara pribadi. Oleh karena itulah biasanya barang tersebut dapat melewati kepabeanan dan dianggap tidak memerlukan izin edar dari Badan POM.
Karena adanya peraturan yang menyatakan jumlah yang dianggap normal untuk pemakaian pribadi suatu kosmetik :

1. Perorangan / pemakaian sendiri
a. Produk OT dan Suplemen makanan
1) Produk yang digunakan untuk penyakit akut atau untuk meningkatkan
daya tahan tubuh dibatasi hanya untuk pemakaian 3 bulan
2) Produk yang digunakan untuk penyakit degeneratif, kronis dibatasi
hanya untuk pemakaian 6 bulan.

b. Kosmetik
    1) serbuk / serbuk kompak
a) ukuran < 20 gram , jumlah 5 – 10 buah
b) ukuran 20 – 100 gram , jumlah 4– 7 buah
c) ukuran 100 – 500 gram, jumlah 3 – 5 buah
d) ukuran > 500 gram , jumlah 2 -3 buah
   2) Cair / cairan kental
a) ukuran < 20 ml /gram , jumlah 5 – 10 buah
b) ukuran 20 – 100 ml / gram, jumlah 4 – 7 buah
c) ukuran 100 – 500 ml/ gram , jumlah 3 -5 buah
d) ukuran > 500 ml/ gram , jumlah 2 -3 buah
   3) Krim, gel/ pasta
a) ukuran < 10 ml /gram jumlah 5 – 10 buah
b) ukuran 10 – 50 ml / gram jumlah 6– 8 buah
c) ukuran 50 – 100 ml/ gram jumlah 4 – 6 buah
d) ukuran 100 – 200 ml/ gram jumlah 3 – 5 buah
e) ukuran > 200 ml/ gram jumlah 2 – 3 buah
   4) Lipstik = 3 buah
   5) Sabun padat = 10 buah

Sehingga dapat disimpulkan apabila jumlah yang dijelaskan pada
pernyataan pengiriminan terlihat tidak sesuai dengan besarnya kemasan
pembungkus ataupun isi dari paket pengiriman seharusnya pihak bea cukai memeriksa dan melaporkan kepada Badan POM, ataupun menahan barang tersebut sampai penerima mengurus segala keperluan agar barang tersebut mendapatkan izin edar di wilayah Indonesia.

4.2 Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Pelaku Usaha yang
Mengedarkan Kosmetik Tanpa Izin Edar Badan POM

Pelanggaran-pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh produsen kosmetik tersebut. Pelaku usaha telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan.Oleh karena itu, berikut akan diuraikan berdasarkan peraturan perundangan yang dilanggar :

1.3.1     Berdasarkan UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.

Pelaku usaha telah melanggar beberapa ketentuan di dalam UUPK, antara lain:

1. Pasal 4 huruf c
Huruf c:
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

2. Pasal 7 huruf a dan d
Huruf a:
Pelaku usaha wajib beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Huruf d:
Pelaku usaha wajib menjamin mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

3. Pasal 8 ayat (1) huruf a, g dan j
Huruf a:
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g:
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
Huruf j:
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa dengan tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

4.2.2 Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM
4.2.2.1 Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK. 00.05. 4. 1745 tentang Kosmetik

1. Pasal 2 huruf c.
Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

2. Pasal 10 ayat (1)
Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan untuk mendapatkan izin edar dari Kepala Badan.

3. Pasal 22
Ayat (1) Penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus jelas dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab.
Ayat (2) Penandaan yang ditulis dengan bahasa asing, harus disertai
keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan lain dalam Bahasa Indonesia.

4.  Pasal 23

(1) Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/Keterangan mengenai :
a. nama produk
b. nama dan alamat produsen atau importir / penyalur
c. ukuran, isi atau berat bersih
d. komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik Indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku
e. nomor izin edar
f. nomor batch /kode produksi
g. kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas
penggunaannya
h. bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan
i. penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.

5. Pasal 25 ayat (1)
Nama produsen atau importir/penyalur harus dicantumkan secara lengkap Pada produk kosmetik yang diedarkan, tidak ada nama dan alamat dari importir di Indonesia.

4.2.2.2 Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK. 00.05. 4. 2995 tentang Pengawasan Pemasukan
Kosmetik;

1. Pasal 2
Ayat (1) Yang berhak memasukkan kosmetik impor ke dalam wilayah
Indonesia adalah importir, distributor, industri kosmetik dan atau industry farmasi yang memiliki izin impor sesuai peraturan perundang-undangan, yang diberi kuasa oleh produsen di negara asal.
Ayat (2) Kosmetik yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan adalah kosmetik yang telah memiliki izin edar.




4.2.2.3 Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.03.1.23.12.10.12459 tentang persyaratan teknis kosmetika.

1. Pasal 5
Ayat (1) Penandaan harus berisi keterangan mengenai kosmetika secara lengkap, obyektif, dan tidak menyesatkan.


1.4          Pelaku Usaha yang Dapat Dimintai Pertanggung jawaban

Contoh dari Kosmetik yang marak beredar di Indonesia tidak melalui importir resmi contohnya adalah kosmetik merek Etude dan The Face Shop. Kosmetik asal negara Korea ini beredar sudah beredar secara resmi sejak beberapa tahun. Seiring dengan mulai dikenalnya produk maka mulai banyak permintaan atas barangbarang tersebut. Banyaknya konsumen inilah yang menarik pelaku usaha-pelaku usaha baru perseorangan yang menjual produk tersebut. Pelaku usaha ini menjual
barang-barang tersebut dengan memesan langsung dari korea dan dikirim langsung ke Indonesia kepada pelaku usaha tersebut. Lalu mereka akan mendistribusikan kepada konsumen yang sebelumnya telah memesan kepada mereka.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) diatas, maka pelaku usaha yang merupakan orang perorangan harus bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan walaupun hanya sebagai importir bukan sebagai produsen barang tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha perorangan yang menjual kosmetik impor tanpa memiliki izin dari Badan POM untuk mengedarkan di dalam Indonesia dapat dimintai dan harus bertanggung jawab.


4.4 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
4.4.1 Tanggung Jawab Perdata

Terhadap kerugian yang telah diderita oleh konsumen, pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan penggantian kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat
(1) UUPK.
Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa ganti kerugian yang
diberikan oleh pelaku usaha dapat berupa: berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 19 ayat (3) UUPK, pemberian ganti rugi tersebut harus dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila pelaku usaha sampai dengan jangka waktu tersebut di atas, tidak memberikan ganti kerugian yang diminta oleh konsumen, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 23 UUPK maka konsumen bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada BPSK ataupun kepada Badan Peradilan Umum di tempat kedudukan konsumen.
Namun konsumen dan pelaku usaha dapat melakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan tanpa harus melibatkan orang ketiga atau lembaga penyelesaian sengketa baik di luar maupun di dalam pengadilan.

4.4.2 Tanggung Jawab Pidana

Pasal 19 ayat (4) UUPK mengatur bahwa tanggung jawab pelaku usaha untuk pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana berdasarkan pembuktian terhadap unsur kesalahan. Pasal 45 ayat (3) UUPK juga merumuskan bahwa penyelesaian sengketa di luar Pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana, maka walaupun telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa yang dikuatkan dengan surat perjanjian perdamaian, tetapi tidak menghilangkan tanggung jawab pidana dari pihak pelaku usaha.
Apabila dikaitkan dengan Pasal 62 UUPK mengenai ketentuan pidana, maka pelaku usaha dapat dikenakan tuntutan sanksi pidana sebagai berikut:

1)  Sanksi pidana dalam Pasal 62 ayat (1)

Terkait dengan Pelanggaran Pasal 8 ayat (1) huruf a, g, dan j:, maka
berdasarkan dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah).
Selain sanksi pidana di atas, pelaku usaha juga dapat dikenakan hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UUPK, berupa:
a. Perampasan barang tertentu.
b. Pengumuman keputusan hakim.
c. Pembayaran ganti rugi.
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen,
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau
f. Pencabutan izin usaha.

Tangggal : 03-05-2013

0 komentar:

Posting Komentar